Teluk Sape, potensi pesisir di ujung timur Bima yang kian terkepung.

nelayan-di-teluk-sape
Sektor perikanan di Teluk Sape menghadapi tantangan dengan tumbuhnya kawasan rural. Tapi, pariwisata menjadi peluang yang menunggu digarap.

PADA ketinggian hanya 2 meter dpl (di atas permukaan laut) ini para nelayan membangun rumah-rumah panggung berjajar. Di timurnya, lidah Teluk Sape mendebur tak henti, tak lebih 5 meter dari rumah panggung yang paling belakang. Lebih ke tenggara, di sanalah markah timur wilayah darat Kabupaten Bima: Pelabuhan Sape.

Desa Bugis, begitu namanya, adalah sudut pandang terbaik untuk mengenal Teluk Sape. Inilah lanskap yang paling sibuk: menjalin aktivitas pelayaran di bagian utara, perikanan di tengah, dan potensi geologi delta di selatan.

Di desa ini, sebagian penduduknya fasih berbahasa Bugis-Sulawesi, yang cukup menunjukkan asal-muasal mereka. Tak jelas benar kapan para pelaut seberang itu berdatangan ke sini, yang pasti, Desa Bugis kemudian menjadi pemukiman nelayan terbesar di Bima. Dari 3.000-an penduduk usia produktif, antara 21-55 tahun, lebih separuhnya mengandalkan laut untuk mata pencahariannya.

Itulah kenapa Desa Bugis tak pernah sepi dari aktivitas melaut. Menurut data Pemerintah Kecamatan Sape tahun 2008, di desa ini terdapat tak kurang dari 291 kapal ikan, 235 bagan, 244 perahu motor, dan 215 sampan. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan desa manapun di Kabupaten Bima.

Bacaan Lainnya

Tetapi, bukannya tidak ada masalah. Nelayan umumnya hanya menguasai satu jenis alat tangkap. Kemampuan menggunakan alat tangkap itu diwarisi secara tradisional, turun temurun. Karena itu biasanya mereka terdiri dari beberapa kelompok. Ada kelompok penangkap tongkol, nelayan bagan, dan sebagainya. Yang biasa dengan pancing demersal, hampir pasti, tak mahir bekerja di atas bagan. Begitu sebaliknya.

Kelompok-kelompok itu bekerja sejauh mana faktor alam dan meteorologi memungkinkan alat tangkapnya bisa dioperasikan. Jala tebar, misalnya, tak mungkin bekerja dalam angin kencang. Bubu lipat hanya menangkap ikan-ikan yang bersembunyi di perairan bakau dan karang. Atau, model lift net yang memburu pelagis saat bulan gelap.

“Jadi nelayan kalau tidak punya alat, susah,” kata Damuji, 35 tahun. Dia adalah nelayan bagan. Dalam masa bulan terang seperti sekarang, dia enggan melaut. Hasilnya tak cukup, katanya.

Kalau tak melaut, nelayan bagan seperti Damuji lebih banyak menghabiskan waktu memperbaiki jala atau sekadar memancing untuk kebutuhan lauk sendiri. Ada juga yang beralih sementara menjadi buruh tani di ladang bawang. Tapi, Damuji tak mau ikut. Mencangkul saja dia tak tahu caranya.

Damuji percaya, menjadi nelayan sudah takdirnya. Takdir pula yang menjadikan ikan selalu melimpah di laut manapun, tak kenal waktu-tak kenal musim. Tetapi, seperti katanya tadi, nelayan sangat bergantung ada-tidaknya alat tangkap. Alat tangkap inilah yang bekerja sesuai musim.

“Kalau ada kapal motor 60 GT (gross tonase) atau 200 GT, saya pergi cari ikan di selatan sana. Sekarang laut sedang panas, gampang dapat ikan besar,” kata Damuji. Diam sebentar, kemudian meringis. “Tapi ‘kan saya tidak punya…”

Ya, lupakan dulu mimpi Damuji menangkap seekor marlin raksasa. Nelayan di Desa Bugis dan sembilan desa lainnya di pesisir Teluk Sape, belum mampu merambah lautan lepas dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Tetapi, potensi lestari sumberdaya ikan di Teluk Sape pun masih lebih dari cukup, hampir 5 ribu ton per tahun.

Teluk Sape membentang sepanjang 72 Km, merupakan penyumbang tertinggi produksi ikan di Kabupaten Bima yang mencapai 12 ribu ton per tahun. Didukung dengan tersedianya dermaga pelabuhan dan pelelangan ikan, sektor perikanan menjadi faktor penentu utama fluktuasi ekonomi daerah ini.

Hasil tangkapan nelayan Teluk Sape tak hanya menguasai pasaran lokal melainkan juga melintas ke pulau-pulau tetangga. Itu tak lain karena lancarnya distribusi melalui laut dan darat. Sebagiannya adalah komoditi ekspor seperti cakalang, serta hasil non ikan seperti mutiara dan rumput laut.

Tetapi, potensi sumberdaya laut dan pesisir Teluk Sape ini menghadapi ujian dengan tumbuhnya kawasan rural di sekitar Delta Gusu. Inilah kawasan subur dengan ketersediaan air, energi, dan pangan yang tinggi.

Di kawasan delta terkonsentrasi penduduk yang tinggi. Akibatnya ruang habitat untuk sumberdaya pesisir seperti rumput laut dan mangrove terus terhimpit. Sementara agak di hulu, di Desa Sari, diketahui adanya endapan mangan yang cukup baik. Potensi galian tambang yang juga tengah dikembangkan di Kabupaten Bima terdapat di sekitar Kecamatan Lambu, yang termasuk kawasan pesisir Teluk Sape.

Pemanfaatan galian di sekitar Teluk Sape tentu harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak ekosistem alami. Terlebih lagi, Teluk Sape termasuk dalam perhatian pemerintah untuk dikembangkan sebagai destinasi pariwisata.

Garis pantai Teluk Sape memiliki hamparan pasir putih dengan bentang alam yang menyajikan panorama memikat. Di sini terdapat sekitar 20 gili (pulau kecil; nisa) yang cocok untuk wisata alam dan petualangan. Meskipun untuk itu, infrastruktur seperti jalan, penginapan, dan listrik masih harus diperhatikan. Salah satunya adalah Pantai Torowamba, dekat perbatasan Desa Pajo dengan Lamere, 6 Km dari ibukota Kecamatan Sape.

Tak berlebihan kiranya jika Teluk Sape diproyeksi menjadi kawasan terintegrasi untuk pengembangan pariwisata, perikanan, pelayaran, peternakan, dan pertanian. Inilah tantangan untuk menghadapi masa depan yang lebih baik. Semoga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *