Sekitar 15 tahun lalu, dia masih duduk di Kelas III SMA. Sekarang umurnya menginjak tahun ke-37. Tapi, sejauh itu, dia kehilangan segalanya: dirantai di kebun samping kuburan.
JALAN rabat beralas beton itu berlumut dan cukup licin, apalagi ketika hujan turun. Lebarnya hanya seukuran badan mobil. Di kanan-kirinya, sepanjang 300 meter, ditemboki pagar tanaman dan satu-dua rumah penduduk. Sepi, iya. Semakin ke dalam semakin sepi. Yah, karena memang jalan itu berujung di Pemakaman Umum Oimbo, Desa Kumbe, Kecamatan Rasanae Timur, Kota Bima.
Begitu memasuki areal perkuburan itu, segala hiruk-pikuk modernisme seperti hilang tak berbekas, ditelan perasaan haru yang tiba-tiba menyergap. Nyaris tak ada suara, kecuali desau angin dan gemuruh dada sendiri. Tengoklah ke manapun, tak ada ruang yang cukup untuk memandang; tertumbuk perbukitan yang mengapit di sisi utara dan selatan. Perkuburan Oimbo agaknya memang dihajatkan untuk terasing.
Di arah Barat Laut, di balik rerimbunan bambu, terdapat sedikit jalan yang cukup untuk dilewati satu orang. Agak susah memang, karena harus menyibak kulit bambu yang berduri halus dan melompati gundukan akar yang agak tinggi. Di seberang itulah terdapat sebuah pohon asam tua berukuran satu setengah pelukan orang dewasa.
Tak ada yang istimewa dengan pohon itu. Tapi, lihatlah apa yang ada di bawahnya. Sebuah gubuk—sebutlah begitu—dan seorang laki-laki yang hidupnya berputar-putar di tempat itu selama sekitar 15 tahun.
Dia Muhammad Nor. Orang sekampung memanggilnya: Nor. Laki-laki berperawakan tegap itu seharusnya jadi polisi atau tentara. Bahkan, ia masih terlihat gagah dengan cambang tak beraturan di usianya yang hampir kepala empat. Namun, begitulah adanya, hidup melemparnya ke sana dengan kaki terikat rantai sepanjang 3 meter. Makan, tidur, dan buang air di tempat yang sama…
Jika saja Nor tak kehilangan akalnya, pastilah ia seorang yang supel. Dia selalu ingin berbicara dengan siapa saja yang datang. Banyak yang diceritakannya sampai sudut bibirnya berbuih. Kepada orang yang baru dilihatnya, Nor akan sangat bersemangat bertutur soal kehebatannya mengalahkan jawara-jawara. Sepuluh orang lawan menyerangnya dengan pisau, Nor menghabisi mereka dengan tangan kosong. Benar atau tidak cerita itu, hanya dia yang tahu.
“Dulu dia sering mengamuk karena diganggu orang-orang. Banyak kaca rumah tetangga dipecahkan. Terpaksa kami rantai di sini, jauh dari penduduk,” tutur Usman H. Harum, paman Nor, pekan lalu.
Lelaki sepuh yang gemar memakai topi pet itu mengisap rokoknya dalam-dalam sambil memandang keponakannya yang jongkok dekat pohon asam. Beberapa kali Usman memberi isyarat agar Nor makan dulu. Sepiring nasi berlauk ikan goreng tanpa sayur disodorkan sedepa dari kakinya. Tapi, Nor hanya menggeleng. “Dia malu makan kalau sedang banyak orang seperti ini,” kata Usman.
Nor diberi makan tiga kali sehari; pagi, siang, dan sore. Ibunya, Mariama, 65 tahun, yang sering datang membawakan makanan. Kalau urusan makan, Nor tidak repot. “Apa saja yang dikasih, dia makan,” kata Mariama.
Selain makanan, Mariama juga membawakan dua jeriken air untuk Nor, dua kali sehari: pagi dan sore. Dengan itu Nor mandi. Tak perlu dimandikan karena Nor bisa mandi sendiri. Tapi, untuk sikat gigi, Nor agak malas. Rambutnya yang keriting juga tampak lecek dan kering, jarang disampo.
“Dia itu sebenarnya rapi, tidak suka yang berantakan,” kata Mariama. Hanya saja, siang itu Nor agaknya merasa gerah, tidak mau pakai baju. Dia hanya mengenakan sarung sebatas perut hingga betis. Kalau sedang jongkok, sarung ditarik hingga ke paha. Nor tahan duduk jongkok hingga satu jam, tanpa pindah tempat.
Ketika ditawari rokok oleh seorang wartawan, Nor juga menolak. Pahit, katanya. Dia memang bukan perokok. Dia lebih senang berbicara dan melempar senyum, terutama ketika wartawan menjepretnya dengan kamera. Nor justru makin bersemangat. Sudah belasan tahun dia tersingkir dari keramaian dan perkembangan teknologi, tapi rupanya dia tahu bahwa siang itu dia menjadi pusat perhatian. Dan, Nor senang diperhatikan.
Ke mana Mariama? Oh, bunda yang sabar itu diam-diam mengambil sekop, lalu menyedok sesuatu dari tanah di dekat Nor berjongkok. “Sesuatu” itu masih mengeluarkan bau meskipun sudah agak kering. Apakah itu kotoran manusia? Tak siapapun sudi mencari tahu. Mariama membuangnya agak jauh, ke dalam semak-semak dekat pagar kuburan. Dua kali Mariama bolak-balik begitu.
Tak ada jamban. Sumur pun nihil. Sekitar 30 meter ke selatan, air sungai Oimbo mengalir deras. Tapi, mustahil Nor bisa ke sana dengan kaki yang dirantai. Lagipula, Nor sudah terbiasa sendiri. Dia bebas ngapain saja, semaunya. Toh, tak ada yang melihat, kecuali ibu dan beberapa kerabat.
“Sebelum ke sini, Nor dulunya dipasung di sana,” kata Mariama, menunjuk ke sebuah gubuk lain yang lebih dekat dengan sungai. “Dipasung dua kali.”
Di gubuk “lain” itu, Nor lebih menderita lagi. Kedua kakinya nyaris tak bisa bergerak, apatah lagi untuk berjalan. Sebuah pasung kayu membelenggunya bertahun-tahun, memotong aliran darah dari kaki ke jantungnya. Wajar jika Nor jadi sering keram dan nyaris lumpuh.
Keluarganya tak tega melihat Nor begitu, lalu melepas pasungan. Tapi, itupun tak lama. Mereka khawatir Nor akan kabur. Akhirnya, Nor kembali dipasung. “Waktu itu dia masih sering mengamuk dan melempar-lempar orang yang lewat,” ujar Mariama.
Lantas, ayah Nor membelikan rantai. Rantai dilingkarkan di pohon asam, bertaut mati dengan gembok. Tanpa kunci, sangat sulit melepasnya. Ujung rantai sepanjang 3 meter mengikat kaki kiri Nor. Di radius itulah Nor menjalani separuh hidupnya, berkitar-kitar tak lebih dari 3 meter di bawah pohon asam. Sejauh itulah dunia yang dikenalnya.
Saat malam datang, Nor masuk ke dalam lapaknya. Ruang lecah 2×3 meter itu beratap seng dan hanya ditutupi kain sebagai dinding. Tak menggunakan papan atau kayu. Tiangnya dari bambu. Kalau terik matahari, tentu bukan masalah. Rimbunnya daun asam masih cukup melindunginya. Tapi, hujan adalah petaka besar. Sulit membayangkan seorang manusia dapat tidur nyaman dengan atap yang bolong-bolong.
Di dalam lapak hanya ada sebuah tempat tidur. Jangan membayangkan itu adalah kasur dengan seprai dan bantal guling. Ranjangnya adalah bekas daun pintu tanpa kaki, bersentuh langsung dengan tanah, dan jebol di beberapa bagian. Kasurnya adalah triplek yang tak rata. Seprainya diganti tikar semata wayang. Cuma bantal yang benar-benar bantal. (bersambung)