MENJELANG Maghrib tadi kami masih di Jalan Bypass. Anak-anak keliatan senang bisa jalan-jalan sore.
Kami mampir di sebuah lapak sosis bakar dan es, di pojokan gerbang pelangi Tembolak.
Sebenarnya dua lapak yang terpisah tak jauh. Dua pedagang di situ, laki-laki dan perempuan. Sepertinya mereka satu keluarga; entah suami-istri, entah bersaudara.
Saya tidak bertanya dan tidak ada rencana berkenalan.
Kemudian adzan dari masjid-masjid. Saya sedang berdiri di dekat si pedagang laki-laki. Dia menegur, “Mau shalat, Pak?”
Dia menunjuk sebuah rumah sederhana di sebelah barat, agak turun dari bahu jalan, yang sedikit tertutup daun-daun pohon (mungkin nangka).
Saya harus bilang apa. Kami belum sempat berkenalan, bahkan tidak saling bicara lagi waktu jalan beriringan ke rumah itu. Di sumur, kami wudhu. Di teras rumah, kami shalat.
Seperti berdiri di antara ombak.
*****
(Klik di gambar untuk memperbesar)
Bagaimana menulisnya dengan ringkas tanpa melewatkan satupun bulir ombak yang pecah di sekitar suasana tadi?
Apa yang luruh ketika berdiri bersisian bahu adalah stigma. Bagi mereka yang merasa bersaudara, tidak perlu periksa KTP, tidak menghitung isi sumur yang berkurang, tidak saling menyelidik dengan sudut mata.
Kami begitu berbeda tapi, di saat yang sama, sangat dekat. Hanya berselisih satu pijakan kaki atau kurang dari itu.
Siapa bisa nyaman di posisi sedekat itu sama orang asing, jika saja bukan dalam shalat.
Bagaimana menulisnya?