Pengalaman saya pakai shared hosting, ini dua alasannya.

pengalaman-saya-pakai-shared-hosting
Pengalaman saya pakai shared hosting, ada dua alasan utama kenapa cocok untuk pemula dan beberapa kelemahan mendasar yang tidak bisa dihindari.

Berdasarkan pengalaman aja. Shared hosting adalah pilihan satu-satunya yang bisa saya ambil waktu awal-awal kelola website. Itu juga WordPress self-hosted. Belum coba-coba platform lain.

Sebelumnya, mau cerita dulu.

Google belum seperti sekarang, masih kalah populer dibandingkan Yahoo. Saya berkenalan dengan Google justeru karena Blogspot yang baru aja diakuisisi. Mungkin itu sekitar tahun 2005-2006, ketika blogging lagi nge-tren di Indonesia.

Blogspot yang gratisan jadi awal saya ngoprek HTML/CSS, dan saya segera sadar, barang gratisan tidak pernah lebih baik dari yang berbayar. Saya pun beralih ke WordPress self-hosted yang memberi kendali penuh atas hosting, domain, dan konten.

Enaknya itu WordPress lebih fleksibel dibandingkan Blogspot untuk desain, fitur, dan fungsionalitas plugin atau integrasi API. Omon-omon soal SEO, branding, dan fleksibilitas penggunaan alat analitik, WordPress pastinya menang jauh.

Endak enaknya, WordPress self-hosted butuh sewa hosting sendiri.

2 alasan saya memilih shared hosting

Di awal artikel tadi saya bilang, shared hosting adalah pilihan satu-satunya buat saya waktu itu (2004 atau 2005). Kenapa?

Layaknya manusia biasa yang tak luput dari keterbatasan biaya, saya tentu saja memilih yang paling ringan di kantong. Itu alasan pertama.

Shared hosting adalah opsi yang paling murah dibandingkan VPS atau Dedicated Hosting.

Memang belum semurah sekarang.

Kalau endak salah ingat, yang paling murah itu 50 ribuan per bulan untuk sekadar 500 MB sampai 1 GB memori disk. Itu juga bandwidth dibatasi banget, dan cuman dapat fitur dasar.

Berani pakai VPS? Dulu harganya 1.500.000 per bulan cuy buat sekadar dapat yang RAM 256 atau 512 dengan disk 10-20 GB.

Sedangkan Dedicated itu mainan para sultan. Masa-masa itu, Intel Xeon RAM 2 GB dengan penyimpanan 100 GB mungkin tembus 4-6 juta per bulan.

Abaikan Cloud Hosting, belum ada yang kayak begitu. Barangkali cuman Amazon AWS dan Google Cloud yang udah pake teknologi computing menjelang 2010. Saya ndak tau harganya berapa.

Sekarang, alasan kedua. Saya sewa Shared hosting karena paling gampang dipakai. Maksudnya, ya, bener-bener gampang. Tinggal klik-klik aja di kontrol panel.

Mau install WordPress, misalnya, tinggal login CPanel lalu klik aplikasi WordPress. Udah begitu aja, selesai.

VPS mana bisa begitu. Butuh pengetahuan teknis tentang operation system, command line, networking, web server, database management, automasi atau scripting, konfigurasi ini-itu, belum lagi soal kemanan server. Pokoknya ruwet.

Saya belum pernah main Dedicated. Bisa jadi lebih ruwet, bisa jadi lebih ruwet banget.

Apa itu shared hosting?

Baik, soal definisi. Mestinya di awal artikel dijelaskan.

Shared hosting adalah layanan webhosting di mana satu server dipakai rame-rame sama banyak pengguna.

Ibarat ngontrak bareng di sebuah rumah. Semua penghuni bisa memanfaatkan fasilitas yang tersedia seperti listrik, WiFi, dan air.

Di Shared hosting, sumber daya server seperti CPU, RAM, dan storage diberikan untuk semua website di dalamnya. Semua user saling berbagi.

Bedanya sama VPS, ini tuh ibarat apartemen. Meskipun masih dalam satu bangunan atau server, tetapi setiap user dapat jatah unit hunian sendiri-sendiri. Semua resources yang sudah dijatahi bebas dipakai sendiri tanpa perlu berbagi.

Nah, kalau Dedicated: satu hotel dia sendirian yang punya!

Kelemahan Shared Hosting

Apa sih kelemahan utama shared hosting yang tidak bisa dihindari?

Seperti yang saya sampaikan sebelumnya. Shared hosting itu ibaratnya tinggal bareng di satu rumah. Jadi, kalau ada satu penghuni yang boros, yang lain juga kena dampaknya.

Maunya, sih, setiap orang menggunakan resources yang sama banyaknya biar adil. Website mesti sama template-nya, plugin harus sama, database pun begitu.

Tapi, ya, mana bisa begitu. 

Kita tidak bisa mengontrol orang lain untuk melakukan hal yang sama. Lagi pula, kita tidak tahu siapa-siapa yang ada di server itu.

Jadi, tidak bisa saling mengingatkan.

Itu baru soal resources. Belum lagi masalah traffic.

Bayangin kalau salah satu penghuni rumah dikunjungi banyak tamu. Ruangan yang terbatas jadi penuh sesak, toh.

Apa kabarnya tamu-tamu penghuni lain? Ya, udah pasti harus berdesakan. Kalau ndak kebagian tempat, endak bisa masuk.

Itu yang bikin loading website jadi lemot bahkan down.

User yang sudah capek-capek berhemat resources kena dampak yang sama dengan user yang ugal-ugalan pakai resources.

Optimasi apapun sepertinya tidak berpengaruh banyak karena hanya akan memberikan ruang yang bisa dieksploitasi oleh user lain.

Catatan penutup

Sejauh pengalaman saya pakai Shared hosting, ini adalah pilihan awal yang murah dan gampang untuk pemula. Cocok untuk website yang masih baru dan belum banyak pengunjung.

Kalau traffic sudah tinggi dan loading website dirasakan semakin lambat, itu indikasi harus upgrade ke paket yang lebih powerful. Jangan pernah ragu berkonsultasi dengan penyedia hosting untuk mendapatkan rekomendasi paket yang sesuai kebutuhan.

Saya sendiri sudah lama tidak menggunakan Shared hosting, tapi ini cerita yang berbeda. Insya Allah, akan saya tulis di kesempatan lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *