Saya selalu takut air.
Dulu waktu SMA pernah keseret bah di Kali Jangkuk. Ndak sendiri, sih, berdua sama teman yang sekarang jadi Brimob. Dua lainnya—yang satu sekarang content creator, satunya lagi komisioner lembaga pemilu—mungkin ndak sempat pakai celana, lari sambil teriak-teriak di pinggiran kali sejauh kami hanyut.
Beruntung masih hidup. Entah bagaimana, kami tersangkut di akar pohon lalu memanjat tebing sungai yang licin berlumut sekitar 3-4 meter. Sampai di atas, baru tahu kalau badan penuh luka gores dan lebam akibat membentur batu atau onak yang terbawa arus.
Sejak kejadian itu, bukan cuma takut air, saya juga fobia di atas kapal. Setiap pulkam ke Bima, mana mungkin bisa menghindar. Setidaknya sekali setahun menjelang lebaran, dan sesudahnya.
Minimal sekali setahun saya harus menghadapi ngerinya mendengar lantai geladak yang terus berderit sepanjang 3 jam rute Kayangan-Poto Tano. Saya melihat anak kecil, orang-orang tua, tentara, sopir truk, dan segala identitas yang bisa saya pikirkan, terkatung-katung di kapal yang oleng ke kiri dan ke kanan. Dari seberang jendela kapal, saya bisa lihat permukaan air yang biru dan begitu menoleh ke sisi lain hanya langit. Merasa begitu lemah.
Sepanjang itu saya benar-benar membutuhkan Tuhan.
Di laut, hanya Tuhan yang bisa dipercaya—tidak nakhoda, tidak pelampung. Itu sebabnya saya berzikir dan membaca doa apapun yang bisa diingat. Saya hafal di mana posisi musholla di kapal yang berbeda-beda, karena di situ saya biasa menyembunyikan takut. Sampai ketika laut mulai mengaduk-aduk, saya akan pergi ke luar, menghimpun semua keberanian yang tersisa. Kalau sesuatu yang buruk terjadi, rasa-rasanya lebih baik berdiri menghadapi alih-alih bersembunyi.
Di mana tempat paling aman di bumi?
Saya nemu gambar tata surya muncul begitu saja waktu lagi browsing-browsing. Tentu saja, ini bukan gambar yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Dari SD saya udah pernah lihat globe di dekat meja guru. Tapi, baru kali ini saya benar-benar memperhatikan.
Bumi yang kecil, terlihat begitu rapuh dan mengapung di antara benda-benda langit lainnya. Kelihatan ndak ada apa-apanya di tengah alam raya yang gelap dan senantiasa mengembang itu. Semua apapun yang pernah saya lihat besar, jadi repih begitu saja.
Kita cuma bisa mendengar suara angin ketika bumi berputar. Ndak ada bunyi berderak-derak seperti geladak sewaktu kapal mengambil haluan zigzag. Ndak berasa oleng, tapi di tengah suasana yang tampaknya tenteram, kita sebenarnya sedang berdiri di atas bola kecil yang begitu mudah tergelincir dan dilempar-lemparkan.
Saya, yang masih fobia laut, sekarang menemukan satu fobia lagi. Kali ini bahkan ndak ada tempat bersembunyi. Bagaimana menghadapinya?