(Judul di atas itu saya ambil dari pertanyaan di Quora)
Kalau “nafsu tinggi” yang dimaksud adalah dorongan seksual yang kuat dan sering, wah, jawabannya bisa sangat kompleks. Banyak faktor yang melingkupi: psikologis, biologis, dan sosial.
Saya coba jawab dari perspektif hubungan sosial asalkan istilah “nafsu tinggi” itu kita ganti dengan “obsesi seksual” untuk membantu saya fokus.
Jawab: Pria yang persepsi dirinya berantakan.
Individu dengan obsesi seksual cenderung mengalami distorsi kognitif, artinya cara berfikirnya menyimpang dari norma-norma sosial.
Setiap interaksi terutama dengan lawan jenis selalu bertujuan seks—ndak ambil pusing dengan keselarasan hubungan, ndak peduli tempat, ndak peduli situasi.
Mereka yang mengalami obsesi seksual—pada mulanya—acap merasa tidak cukup baik, tidak menarik, tidak berbakat, atau tidak layak mendapatkan cinta dan perhatian.
Di level kepercayaan diri yang rendah itu seorang laki-laki membutuhkan keseimbangan, seperti kata Erich Fromm, dengan cara mengencangkan maskulinitasnya secara eksklusif dalam seks.
Laki-laki yang kehilangan percaya diri tidak merasa cukup dengan jasa pelacur karena ini bukan cuma soal kepuasan seksual. Ini tentang membanding-bandingkan diri dengan orang lain guna mendapatkan pengakuan.
Mereka yang berada di circle seperti itu akan saling berkompetisi memburu; sebanyak-banyaknya korban, dan sebagus-bagusnya korban.
Pencarian validasi yang melingkar ndak ada ujungnya inilah yang disebut siklus perbandingan sosial.
Obsesi seksual ini, tentu saja, berdampak besar pada hubungan sosial. Mereka yang terpapar akan kesulitan membangun hubungan emosional yang sehat, tidak dipercaya oleh pasangan, dikucilkan oleh lingkungan sosial, atau melawan hukum.
Lantas, apa jadinya kalau semua orang sudah terpapar; laki-laki dan perempuan?
Longgarnya kepatuhan atas norma-norma sosial akan membawa kita kepada tatanan baru yang benar-benar terbalik. Tatanan yang berbahaya untuk keberlangsungan sebuah peradaban.