Menjaga Gili Banta, pulau yang menyendiri di Selat Sape

gili banta

Sebuah pulau seolah terlempar begitu saja di Selat Sape, Kabupaten Bima. Ia hanya sendiri, dikepung Laut Flores di bagian utara hingga barat, dan Pulau Komodo nun di timur. Tandus, sepi, dan tak berpenghuni. Orang-orang menyebutnya: Gili Banta.

Dari kejauhan, pulau seluas 43.750 hektare itu sama sekali tak tampak menawan. Daratannya dipenuhi vegetasi perdu dan semak belukar. Hujan pun enggan berkunjung, kecuali dalam skala musim yang pendek. Siang hari rata-rata suhunya mencapai 32 derajat celcius, namun sangat dingin ketika malam.

Nyaris tak seorang pun sudi datang, bahkan nelayan pun tidak, apatah lagi untuk tinggal di sana. Juga tak ada transportasi resmi, selain menyewa perahu motor 24 PK selama 3 jam penyeberangan. Perlu sedikit nyali untuk melintas di perairan yang merupakan pertemuan tiga arus, yang menyebabkan terjadinya pusaran arus dari Selat Sape, Selat Sumba, dan Laut Flores.

Tetapi, bukan sekadar nyali jika Pemerintah Kabupaten Bima menjadikan kawasan itu sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) melalui SK Bupati Bima Nomor 08 Tahun 2005. Ini adalah langkah cepat untuk penyelamatan kawasan yang sejatinya masih perawan itu.

Bacaan Lainnya

Pemerintah tak mau kecolongan. Gili Banta seharusnya menjadi surga bagi para pelancong, juga lumba-lumba dan beragam biota .

Gili Banta, yang punggungnya gersang itu, ternyata menyimpan surga tak bernilai. Lihatlah, meski dalam jumlah relatif sedikit, di bagian pesisir Gili Banta terdapat mangrove jenis api-api (Avicenna sp). Atau, menyelamlah lebih ke dalam. Persis pada dasar lautnya, tumbuh beragam terumbu karang dalam kondisi yang baik. Beberapa di antaranya adalah jenis karang meja (Acropora tabulate), karang digitata (Acropora digitata), karang biru (coral heliopora), karang padat (coral massive), karang lingkaran daun (coral foliose), dan karang jamur (coral mushroom).

Di sela-sela karang itu, hidup berbagai jenis rumput laut yang didominasi Halodule sp dan Enhalus acraroids. Hidup pula biota lain yang berasosiasi dengan karang seperti kima (Tridacna sp), lobster (Panulirus sp), bintang laut, ikan kepe-kepe (butterflyfishes), ikan sersan mayor (Damselfishes), dan anomen fish. Perairan Gili Banta juga merupakan migrasi bagi Cetacean (lumba-lumba dan paus) yang sering terjadi antara Juni-Juli.

Potensi Gili Banta tersebut memberi sumbangsih bagi produksi perikanan tangkap di Selat Sape, yang pada tahun 2003—misalnya—mencapai 572,2 ton. Tak cuma ikan, jika upaya konservasi terus terpelihara maka Gili Banta juga potensial untuk pengembangan wisata bawah air seperti snorkeling, scuba diving, dan perahu kaca. Atau, beradu dengan ombaknya yang menantang, agaknya wisata ski air dan pancing pun patut dicoba.

Begitulah, pada berbagai kesempatan, Pemerintah Kabupaten Bima melalui Dinas Kelautan setempat, senantiasa mengingatkan masyarakat tentang pentingnya memelihara kawasan KKLD Gili Banta, berikut kawasan perairan lainnya di daerah itu.  Hal itu pula yang disampaikan Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, ST., saat bersilaturahmi dengan masyarakat dan nelayan di Pantai Papa, Lambu, belum lama ini.

Dalam pertemuan yang dihadiri jajaran Dinas Kelautan dan Camat Lambu itu, Bupati Ferry Zulkarnain mengingatkan bahwa pengembangan KKLD Gili Banta akan berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, melalui terbukanya lapangan kerja.

”Pengalihan status Gili Banta menjadi kawasan konservasi dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, jaga dan lestarikan terumbu karang Gili Banta,” kata Bupati Ferry.

Imbauan Bupati itu bukannya tanpa alasan. Sebagai kawasan terbuka, perairan Gili Banta rentan terhadap eksploitasi pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan. Beberapa kasus bom ikan yang ditangani kepolisian, misalnya, melibatkan sejumlah masyarakat dekat kawasan KKDL Gili Banta. Memang, secara kasat mata, di beberapa area KKDL Gili Banta, telah terjadi kerusakan terumbu karang akibat bom ikan.

”Penggunaan bom ikan dan sejenisnya akan secara langsung merusak terumbu karang dan mengurangi populasi ikan,” kata Bupati.

Upaya Pemerintah Kabupaten Bima ini agaknya selaras dengan strategi perencanaan Provinsi NTB yang memusatkan perhatiannya pada sektor agribisnis dan pariwisata.

”Perencanaan di NTB, baik Lombok maupun Sumbawa, harus memperhatikan faktor sumber daya alam,” kata Muhammad Ridha Hakim, Project Leader World Wildlife Foundation (WWF), di sela-sela lokakarya bersama antara Pemerintah Provinsi NTB dan WWF Wilayah NTB, Juli lalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *