Gejolak minyak global: Izin, Jenderal, masih perlukah netral?

harga minyak dunia
Konflik di Timur Tengah mengerek harga minyak mentah dunia. Masih perlukah Indonesia menjaga netralitas jika stabilitas nasional terancam?

Konflik di Timur Tengah tampaknya bakal ngasih dampak yang terus meluas. Kali ini lonjakan harga minyak seolah menggiring dunia berjalan di atas bara api yang siap menyala kapan saja.

Kenaikan harga minyak mentah Brent lebih dari 5 persen dalam sehari memperlihatkan kerentanan ekonomi global terhadap konflik geopolitik di kawasan itu.

Ada dinamika yang patut dihitung cermat oleh Indonesia sebagai negara yang punya kebergantungan besar terhadap impor minyak.

Kita tentu sangat rentan dengan fluktuasi harga minyak dunia. Setiap kali harga naik maka beban ekonomi negara pun meningkat, memperlebar defisit perdagangan, dan meningkatkan subsidi energi.

Bacaan Lainnya

Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto Djojohadikusumo akan segera menghadapi tugas-tugas berat untuk menavigasi ancaman geopolitik ini. Kebijakan luar negeri pemerintahan baru akan sangat mempengaruhi kemampuan Indonesia menghadapi dampak ketergantungan impor minyak.

Ada sejumlah hal krusial yang perlu diperbaiki dalam mempertegas posisi Indonesia di antara negara-negara dunia.

Indonesia, sebagai konsumen minyak terbesar di Asia Tenggara, mestinya ada di posisi yang strategis tetapi diplomasi energi kita masih kelihatan pasif dan reaktif. Sementara negara-negara seperti Cina dan India sudah jauh lebih agresif dalam membangun hubungan kuat dengan negara-negara produsen minyak.

Rakyat tentu menunggu langkah apa yang bakal diambil pemerintahan Prabowo nantinya untuk mendapatkan pasokan yang stabil kalau konflik sudah mulai mengganggu pasokan dari Iran.  

Iran menghasilkan 4 persen dari total minyak dunia, dan menjadi anggota penting OPEC yang menyumbang sekitar 30 persen dari total minyak dunia.

Selat Hormuz, jalur utama yang dilewati sekitar 20 persen pasokan minyak global, adalah kunci. Kalau Iran terancam, bisa saja jalur itu diblokir sebagai strategi perangnya.

Seandainya bener kejadian, implikasinya bisa memicu masalah besar bagi pasokan energi dunia, termasuk Indonesia. Harga minyak sudah pasti bakal naik terus.

Mau tidak mau Indonesia harus mempersiapkan diri untuk skenario seperti ini. Perlu langkah konkret yang dilakukan untuk mencari alternatif pasokan atau memperkuat hubungan dengan negara-negara penghasil minyak lainnya.

Prabowo, dari gestur politik yang bisa ditebak, berhasil menyatukan seluruh kekuatan yang diperlukan termasuk dukungan dari para jenderal purnawirawan.

Tentu ini menjadi modal besar untuk memperhitungkan posisi Indonesia yang dikelilingi negara-negara persemakmuran, dan sejumlah isu dengan Cina.

Sejak awal, Indonesia menganut politik luar negeri yang bebas-aktif, mempertahankan hubungan baik dengan negara-negara lain demi perdamaian dunia.

Namun, melihat eskalasi ketegangan yang semakin panas, tidaklah aneh jika menimbang-nimbang kembali netralitas itu. Setidaknya untuk mulai meraba-raba kemungkinan diversifikasi pasokan energi.

Indonesia harus tampil lebih aktif dalam diplomasi Timur Tengah, mengingat dampak langsung terhadap kepentingan nasional. Langkah apa pun, termasuk memperkuat aliansi dengan poros Asia atau lainnya, bakal sangat menentukan aman-tidaknya pasokan energi secara lebih terkoordinasi. 

Lonjakan harga minyak di pasar internasional sudah pasti berimbas pada kenaikan harga bahan bakar dalam negeri. Kenaikan harga BBM selalu memperburuk beban masyarakat kelas bawah, berisiko menarik jatuh sebagian kelompok menengah, sehingga memperlebar jarak kesenjangan dengan kelompok elit yang relatif mampu menyerap dampak ekonomi.

Secara sosial, situasi ini tidak menguntungkan. Apalagi jika melemahnya kemampuan distribusi barang turut mengurangi kemampuan produksi pangan.

Prabowo Subianto, barangkali satu-satunya pemimpin politik yang serius memperhatikan isu pangan. Tidak berhenti di wacana, Prabowo sejak jauh-jauh hari membangun pusat pendidikan untuk petani muda modern.

Kita masih bisa jalan kaki kalau bensin tidak ada, tapi pangan tidak bisa ditunda-tunda. Prabowo menyadari itu sejak lama, sebagai strategi ketahanan internal.

Pertanyaannya bukan lagi kapan krisis ini berakhir, melainkan seberapa kuat kita bertahan di tengah gejolak global ini?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *