Merakyat: politik pencitraan yang mengaburkan kemanusiaan.

topeng scam
Kata “merakyat” menjadi alasan orang menentukan pilihan politiknya. Tapi, politik pencitraan mengaburkan makna rakyat sebagai manusia seutuhnya.

Siang ini saya melihat video Presiden Jokowi di sebuah warung, bersama anak kecil, saya ndak tau siapa. Mungkin yang ingin diperlihatkan adalah sisi pribadi Pak Jokowi yang jauh dari flexing dan merakyat.

Kata “merakyat” ini juga saya lihat di beberapa hasil survei tentang Pilkada NTB 2024. Merakyat adalah salah satu alasan orang memilih kandidat, alasan paling kuat.

Tapi, ada yang unik dari sesuatu yang berawalan “me-“ ini. Awalan yang menunjukkan upaya serius, menyifati sesuatu, meniru-niru, dan mengumpulkan-ngumpulkan untuk, yang, pada akhirnya, demi mencapai keadaan tertentu.

Awalan “me-“ bisa memiliki makna berbeda jika berhubungan dengan kata benda, kata sifat, atau kerja tertentu. Bisa berarti membuat atau menghasilkan sesuatu, misalnya “melucu”; bisa berbuat seumpama, misalnya “mengekor”; bisa juga mencari dan mengumpulkan sesuatu, misalnya “merumput” dan “merotan”. Atau, jika dibubuhkan dengan kata benda abstrak, maknanya jadi menuju ke suatu tempat, misalnya “menepi” dan “mendarat”.

Bacaan Lainnya

Anda bisa menemukan kata-kata dasar lainnya untuk melihat sendiri energi yang tersimpan dalam awalan “me-“ ini, mungkin, kata-kata dasar yang berkaitan dengan peristiwa, seperti “merenung” atau “mengenang”.

Merakyat adalah kata yang, dalam pandangan saya, memenuhi semua energi tersebut. Merakyat tidak cukup dengan satu perbuatan melainkan usaha yang dilakukan terus-menerus. Merakyat tidak cukup dengan sekadar menemukan atau menerima, melainkan usaha meramu satu per satu sebanyak-banyaknya. Untuk apa?

Saudara, rakyat adalah kata benda tetapi maknanya jauh lebih luas dari sekadar benda-benda. Di sana ada lingkungan, ada mimpi, ada interaksi, ada perasaan, juga kebutuhan.

Jika Anda ingin hadir dalam mimpi dan harapan seseorang, mungkin Anda merasa perlu menjadi bagian dari kenangan dan perenungan itu sendiri: meniru-niru. 

Gunakan kamera dan media sosial.

****

Allport pernah terjebak di kebingungan itu.

Ketika merumuskan sistem psikofisik, dia gamang menempatkan definisi kepribadian antara penyesuaian unik dengan lingkungan (baca saja: meniru-niru). Allport butuh waktu 30 tahun untuk merevisinya dengan frasa berbeda: bahwa kepribadian adalah perilaku dan pemikiran yang khas.

Tidak ada lagi kata penyesuaian atau menyesuaikan diri. Atau, dalam istilah yang kita gunakan sebelumnya: meniru-niru. Itu dihapus.

Tentu saja revisi Allport juga berkaitan dengan konteks. Jika konsepsi sebelumnya lebih menitiberatkan pada aspek bertahan hidup, yang berkonotasi dengan pemuasaan kebutuhan-kebutuhan biologis, Allport kini mencakup banyak perilaku dan pemikiran yang lepas dari usaha beradaptasi dengan lingkungan.

Saya sedang berusaha memahami Allport, sebisa mungkin. Tidak mudah untuk mengerti perbedaan makna “unik” dalam penyesuaian diri dan “khas” dalam pemikiran dan perilaku sebagaimana dikemukakan Allport.

Tidak saat ini.

Tetapi, dari sisi konteks, pendapat Allport rasa-rasanya lebih mudah dihubungkan dengan keadaan tahun-tahun belakangan ini. 

*****

Rakyat, bukanlah sekumpulan benda. Mereka tidak hidup sekadarnya.

Begitupun kemiskinan.

Mari berusaha lebih keras melihat kemiskinan sebagai bagian dari realitas manusia yang hidup dan mendekatinya dengan perasaan lebih halus seperti kepada anak-anak sendiri.

Kita mulai dengan membedakan dua buah pisang dengan sepiring nasi.

Sekali waktu Pak Wapres Ma’ruf Amin, layaknya pemuka agama, menyebut nama Tuhan dengan begitu arif, untuk bersyukur atas nikmat pisang yang beragam di tanah air kita. Dia juga bilang, dua buah pisang setara dengan satu porsi nasi 100 gram. Jadi, kenyang tidak harus makan nasi.

Ini tentang diversifikasi pangan di tengah kondisi bangsa yang sedang “selalu baik-baik saja”.

Kita tentu menghormati Pak Ma’ruf. Tapi, siapa di antara kita yang kemudian bersedia sekadar kenyang dengan dua pisang setiap hari?

Tidak ada yang harus dikoreksi dari kebutuhan manusia atas nutrisi. Lagi pula, hidup selalu punya opsi. Misalnya, setiap laki-laki dan perempuan yang bosan dengan pasangannya, punya opsi untuk bercerai.

Pak Ma’ruf pastinya tidak lupa juga bahwa laki-laki harus melepaskan sebagian sperma di tengah spermatogenesis yang konstan memberi pasokan jutaan sperma setiap hari. Untuk sekadar melepasnya, ada sejumlah opsi.

Mengenai opsi-opsi yang tersedia, apa saran Pak Ma’ruf untuk putra-putra terbaik bangsa untuk sekadar melegakan ruang testosteron?

Menikah, jika menilik pendapat Pak Ma’ruf tentang pisang vs nasi, adalah opsi yang berbiaya. Adakah cara lain yang lebih murah untuk sekadar hidup sebagai laki-laki normal dengan testosteronnya?

Kita tentu tidak ingin sekadar hidup. Kodratnya begitu.

Di sisi lain, di tengah kondisi bangsa yang selalu baik-baik saja, kita akan selalu menitipkan harapan-harapan besar kepada pemimpin yang baik-baik saja. Di atas janji-janji politik yang pro-rakyat, kita menyandarkan mimpi-mimpi, untuk hidup sebagai rakyat yang terhormat, yang tidak tercerabut dari akar budaya dan selera, yang punya kebanggaan sebagai bangsa besar di antara bangsa-bangsa lainnya.

Kita butuh kebijakan yang pro-rakyat. Alih-alih menyarankan pisang, apa saran yang lebih baik kepada menteri-menteri negara untuk menjamin kebutuhan dasar rakyat: energi, pangan, dan akses layanan publik.

*****

Harga elpiji 3 kg naik hingga 10,5 persen dan memaksa pengeluaran bulanan untuk gas meningkat sekitar 5 persen dari total penghasilan. Bagi keluarga dengan pendapatan di bawah UMR, ini tentu bukan kondisi yang baik-baik saja.

Menilik data BPS, inflasi di sektor pangan pada tahun 2023 mencapai 6,11 persen, dengan kontribusi terbesar datang dari kenaikan harga beras dan minyak goreng . Kenaikan ini sangat memukul rumah tangga berpendapatan rendah, yang sebagian besar penghasilannya dialokasikan untuk kebutuhan pangan.

Masih menurut data BPS pada Maret 2024, angka kemiskinan mencapai 9,57 persen, sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Meski terlihat kecil, ini setara dengan lebih dari 26 juta jiwa yang hidup di bawah garis kemiskinan.

*****

Elpiji adalah kebutuhan mendasar, tidak ada opsi komplementer seperti pisang untuk mengganti nasi. Tidak dengan kayu bakar, batu bara, atau minyak biji nyamplung.

Kalau kita fair, beban yang paling berat pastilah dirasakan masyarakat dengan pendapatan rendah. Bagi mereka di luar itu (baca: pendapatan menengah ke atas), yang penting barangnya ada, harga tidak masalah. Dan, kalau kita baca berita, itulah yang sedang diupayakan pemerintah: memastikan stok tersedia.

Bagaimana mungkin kita tidak tidak bertanya-tanya, kenapa pemimpin kita membebankan masalah-masalah bangsa ini kepada kelompok yang paling rentan? Seperti membiarkan orang yang paling lemah di antara kita untuk menerima pukulan keras bertubi-tubi.

Anda bisa membandingkan dengan tarif pesawat, harga pertamax, pajak barang mewah, biaya sekolah internasional, dan lain-lain yang berkaitan dengan kelompok lebih mampu. 

Mari googling untuk menyadari “kekhasan” pemikiran para pemimpin kita dan ke mana keberpihakannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *